BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam
adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan
sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. “Hadits atau disebut juga dengan
Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW.,
baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber
ajaran Islam setelah al-Qur’an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan
dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal
terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya
diperlukan pendekatan khusus”.
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan
hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para
sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, “Nabi pernah melarang para sahabat untuk
menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat
untuk menulis hadits beliau.
1) Larangan menulis
Hadis
Terdapat
sejumlah hadis Nabi SAW yang melarang para sahabat menuliskan hadist .Di antara
hadist tersebut adalah hadist yang berasal dari Said al Khudri :
لاَ
تَكْتُبُوْا عَنِّى شَيْئًا إِلاَّ الْقُرْآنَ فَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ
الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Artinya:
"Nabi muhammad Saw bersabda: Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim) (1)
"Nabi muhammad Saw bersabda: Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim) (1)

(1). Hadist Shahih Riwayat Muslim
2) Dibolehkan Menulis Hadits
Baru di masa Dinasti Bani Umayyah
ketika dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz yang banyak disebut sebagai Khalifah
yang kelima, ia memberi perintah:
وَكَتَبَ
عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَبِى بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ انْظُرْ مَا كَانَ
مِنْ حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَاكْتُبْهُ ، فَإِنِّى
خِفْتُ دُرُوسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ ، وَلاَ تَقْبَلْ إِلاَّ حَدِيثَ
النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم - ، وَلْتُفْشُوا الْعِلْمَ ، وَلْتَجْلِسُوا
حَتَّى يُعَلَّمَ مَنْ لاَ يَعْلَمُ ، فَإِنَّ الْعِلْمَ لاَ يَهْلِكُ حَتَّى
يَكُونَ سِرًّا (صحيح البخارى معلقا 1 / ص 186)
“Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar
bin Hazam (Gubernur di Madinah): Lihatlah apa yang ada dalam hadis Rasulullah,
lalu tulislah. Sebab saya takut akan hilangnya ilmu dan wafatnya ulama. Jangan
kau terima kecuali hadis Rasulullah Saw, sebarkan ilmu, hendaklah duduk mencari
ilmu hingga orang yang belum tahu menjadi tahu. Sebab ilmu tidak akan hilang
sehingga menjadi rahasia” (Sahih Bukhari secara Muallaq 1/186)
Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan
hadits, misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada
sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat
Nabi telah menulis hadits Nabi,misalnya Abdullah bin ‘Amr bin al-’As (w.65
H/685 M), Abdullah bin ‘Abbas (w.68 H/687 M), ‘Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661
M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M),
dan Abdullah bin Abi Aufa’ (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa
seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.
Menurut Syuhudi Ismail(2), penulisan
hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits
yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi’in
memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang
meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi
(yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai makna
atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma’na), sedang
redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan
bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi
al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau
huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.

(2).
Syuhudi Isma’l, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits
Dan dalam makalah ini kami akan membahas tentang “ Periode Penyaringan Hadits sampai denggan
contoh contoh kitab hadits sampai pola dan cara penyusunanya” pada abad III
Hijriyah, yang merupakan saat dimana perkembangan dunia ilmu hadits pada saat
itu lebih mangacu kepada pemisahan dan pentashihan Hadits-hadits Nabi Muhammad
Saw.
RUMUSAN MASALAH
Setelah kita baca bersama latar belakang penulisan
makalah ini, maka kami penulis akan merumuskan makalah ini antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana
Sejarah Singkat Hadist Pada Abad Ke Tiga Hijriyah ?
b. Bagaiman
cara Penyaringan Hadist Pada Abad Ke
Tiga Hijriyah ?
c. Bagaimana
Cara Pengumpulan Hadits Berdasarkan Nukilan dan Kutipan Kitab Hadits sebelumnya
?
d. Bagaimanakah Cara Penyusunan Kitab Hadits Pada
Abad Ke Tiga Hijriyah ?
e. Dan
Contoh – contoh kitab Hadits Pada abad ke Tiga Hijriyah ?
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas kelompok
pada mata kulia Ulumul Hadits, dan juga yang paling pokok adalah sebagai
pembuka wawasan terhadap perkembangan Ilmu Hadits khususnya pada abad III Hijriyah.
Sebagai Refrensi Untuk ilmu pengetahuan kepada Mahasiswa di IAIN Bengkulu
Khusunya dan juga Kepada Masyarakat Umumnya,
BAB II PEMBAHASAN
Sejarah Singkat Hadist Pada Abad Ke Tiga Hijriyah 3H
Abad III H
merupakan abad di dalam periode kelima. Di mana, pada periode ini merupakan
periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (ashr al-tajrid wa al-tashhih
wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5
Hijriyah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah
al-Makmun sampai al-Mu’tadir. Pada awal abad III H, adalah masa dimulainya
pembukuan hadits yang semata-mata hadits saja, tidak dicampuri dengan fatwa
sahabat dan fatwa Tabi’in. Akan tetapi mereka tidak memisahkan hadits-hadits
yakni mencampurkan hadits sahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dha’if.
Segala hadits yang mereka terima, mereka bukukan dengan tidak menerangkan
kesahihannya, atau kehasanannya, atau kedha’ifannya. Mereka menyusun kitab-kitab
hadits berdasarkan nama-nama orang yang pertama meriwayatkan hadits itu
(Musnad) yaitu Abdullah Ibn Musa al-Abasy al-Kufy, Musaddad Ibn Musarhad
al-Bashry, As’ad Ibn Musa al-Amawy, Nu’aim Ibn Hammad al-Khuza’y, Ahmad Ibn
Hanbal, Ishaq Ibn Rahawaih, Usman Ibn Abi Syaibah.
Periode Penyaringan Hadits
A.
Periode Meluasnya Lawatan(3), Penyusunan Kaidah dan Pentashihan
Hadits
Dalam abad ke-3
Hijrah usaha pembukuan hadits memuncak. Sesudah kitab-kitab Ibn Juraij dan
Al-Muwaththa’ Malik tersebar dalam masyarakat serta disambut dengan gembira,
maka timbullah kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya, dan
mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat, dari sebuah negeri ke
negeri lain untuk mencari hadits. Hal ini kian hari kian bertambah maju.

(3)
Lawatan : Kunjungan ( Berkunjung Bertujuan mencari Hadits)
Pada mulanya,
ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota masing-masing. Sebahagian
kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits.
Pada pertengahan abad ke-3, keadaan ini dipecahkan al-Bukhary. Beliaulah yang
mula-mula meluahkan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau
pergi ke Maru, Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir,
Damsyik, Qaisariyah, Asqalan dan Himsah.
Ringkasnya,
al-Bukhary membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadits yang tersebar di
berbagai daerah. 16 tahun lamanya beliau terus-menerus menjelajah untuk
menyiapkan kitab shahih-nya.
Pada mulanya
ulama menerima hadits dari perawi, lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak
menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih
tidaknya. Musuh yang berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan
ulama hadits dalam mengumpulkan hadits pun menambah upaya untuk mengacaubalaukan
hadits yaitu dengan menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudhu’.
Melihat
kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan mereka,
maka ulama hadits bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari
berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta
memisahkan hadits-hadits yang shahih dari yang dha’if yakni
menshahihkan hadits.
Pembahasan
mengenai diri pribadi perawi menghasilkan ilmu Qawa’id at-Tahdits (kaidah-kaidah
tahdits), ‘Illat-‘illat hadits dan Tarjamah (riwayat)
perawi-perawi hadits.
Ringkasnya,
lahirlah tunas Ilmu Dirayah (Ilmu Dirayah al-Hadits) yang banyak
macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah al-Hadits).
Upaya
pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih dari
yang dha’if dengan mempergunakan syarat-syarat pentashhihan, baik
mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’, melahirkan
kitab-kitab shahih dan sunan
B.
Periode Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang
Dipandang Shahih
Untuk menyaring
hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari
yang lemah, Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk
memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.
Pekerjaan yang
mulia ini, kemudian disempurnakan ole imam al-Bukhary. Al-Bukhry menyusun
kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami’ ash-shahih yang membukukan
hadits-hadits yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha al-Bukhary ini
diikuti pula oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim. Maka dengan
jerih payah kedua sarjana besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang
bersih.
Sesudah shahih
al-Bukhary dan shahih Muslim tersusun, muncul pula beberapa orang imam lain
menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud),
At-Tirmidzy (sunan At-Tirmidzy) dan AnNasa’y (sunan an-Nasa’y).
Itulah yang kemudian terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan
kitab-kitab pokok yang lima (al-Ushul al-Khamsah).
Di samping itu
Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab sunan yakni Sunan Ibnu Majah.
Kitab ini oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu
menjadikan kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal dengan nama al-Kutub
as-Sittah. Di bawah kitab yang enam ini ulama menempatkan Musnad al-Imam
Ahmad.
C.
Periode
Dasar -dasar Pentashihan Hadits
Untuk mentashihkan hadits, dibutuhkan pengetahuan
yang luas tentang Tarikh Rijal al-hadits - sejarah perawi hadits -, tanggal
lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan
orang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Dengan pengetahuan yang mendalam
tentang parawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman al-Bukhary
(umpamanya), dapat diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan
perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar dapat
dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta, siapa yang lalai.
Al-Bukhary
mempunyai dua keistemewaan, yaitu pertama, hafalan yang sungguh kuat yang
jarang kita temukan bandingannya, khususnya dalam bidang hadits. Kedua,
keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang dapat kita lihat dalam kitab
tarikhnya yang disususn untuk menerangkan keadaan perawi-perawi hadits.
al-Bukhary dalam menghadapi perawi-perawi yang lemah dan tercela, mempergunakan
kata-kata yang sopan sekali.
Perawi-perawi
yang menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits, seperti az-Zuhry, tentu tidak
sama semuanya. Ada yang erat dengan az-Zuhry, ada yang tidak. al-Bukhary
mensyaratkan perawi-perawi yang erat hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi
yang tidak erat hubungannya, sama dengan menerima perawi-perawi yang erat
hubungannya. Mengenai orang-orang yang bukan tokoh, maka baik Al-Bukhary maupun
muslim menerimah riwayatnya asal saja perawi itu terpercaya, adil tidak banyak
khilaf atau keliru.
Al-allamah muhammad zahijd al-kutsary mengatakan
bahwa diantara yang menarik perhatian adalah al-Bukhary dan Muslim tidak
menceritakan sedikitpun dari hadits Imam Abu Hanifah, padahal al-Bukhary dan
muslim itu mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah dan menerimah
hadits dari mereka. Juga al-Bukhary dan muslim tidak mentakhrijkan hadits imam
Asy-Syafi’y padahal beliau-beliau itu menjumpai sebagian ashabnya. Juga
al-Bukhary tidak mentakhrijkan hadits-hadits ahmad selain dari dua hadits, satu
secara ta’liq, satu lagi secara nasil dengan perantaraan, padahal al-Bukhary
mendapati ahmad dan bergaul dengannya. Muslim tidak mentakhrijkan dalam
shahinya barang satu hadits dari hadits al-Bukhary, padahal muslim bergaul
dengannya dan menuruti jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits ahmad
selain dari 30 hadits, ahmad tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari malik
dari nafi melalui jalan Asy-Syafi’y padahal sanad inni dipandang paling sah,
selain dari empat hadits.
D.
Periode Langkah-Langkah yang Diambil untuk
Memelihara Hadits
Ulama di samping membukukan hadits dan memisakan
hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, atau memisahkan yang shahih dari
yang dha’if, mereka memberikan pula kesungguhan yang mengagumkan untuk menyusun
kaedah-kaedah tahdits, ushul-ushulnya, syarat-syarat menerimah riwayat,
syarat-syarat menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah-kaidah yang
dipegangi dalam menentukan hadits-hadits maudhu (palsu).
Semua
itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah Rasul dan untuk menetapkan garis
pemisah antara yang shahih dengan yang dha’if, khususnya antara hadits-hadits
yang ada asalnya dengan hadits yang semata-mata maudhu.
Pengumpulan Hadits Berdasarkan Nukilan dan Kutipan Kitab Hadits Sebelumnya
Abad ke-3 H merupakan puncak pembukuan Hadits, yang mulai tersebar
dimasyarakat kitab-kitab hadits, seperti kitab Muwaththa’- Al Malik
yang telah disambut dengan gembira bagi masyarakat. Kemauan menghafal hadits,
mengumpulkan dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu
berpindah dari suatu tempat ketempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain
untuk mencari hadits.
Keadaan ini mulanya diubah oleh
Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi
untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah,
kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, Asqalani dan Himsh.
Imam Bukhari membuat trobosan dengan
mengumpulkan hadits yang tersebar diberbagai daerah. Enam tahun lamanya Al
Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab sahih-nya(4).
Dari
sinilah diketahui Jika Al Bukhari Mulai bertemu dengan orang yang menghafal hadits
nabi baik yang mereka dengar langsung dari nabi maupun yang mereka dengar dari
para sahabat nabi, Adapun Menurut M. Hasbi Ash Sidieqqy(5) Mengatakan ada 3 jalan pengumpulan
hadits yang dilakukan oleh Al Bukhari yaitu :
1. Jalan Pertama, yaitu pengumpulan segala kritik-kritik yang
dihadapkan oleh ahlul kalam kepada ahlul hadits, baik mengenai
pribadi-pribadi ahlul hadits , maupun mengenai matan
hadits itu sendiri. Mereka menolak tuduhan-tuduhan itu dan
membersihkan pribadi-pribadi ulama hadits dari kritik-kritik tajam yang
dilemparkan oleh ahlul kalam. Sebagai contoh seperti Ibnu Qutaibah
dalam kitabnya Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘Ada-il
hadits.
2. Jalan kedua, jalan mengumpulkan hadits dibawah nama seseorang
sahabat, baik hadits itu shahih, ataupun tidak, walaupun hadits-hadits itu
bermacam-macam dan berlainan-lainan maudlu’nya.
Musnad-musnad yang disusun diantaranya; Musnad Ubaidullah ibn Musa (wafat
213 H), Musnad al-Humaidy (wafat 219), Musnad Ishaq ibn Rahawaih (wafat 239)
dan masih banyak lainnya.
3. Jalan ketiga, menurut kitab fiqih dengan diberi bab-babnya.
Maka hadits-hadits yang mengenai suatu masalah, ditulis dalam suatu bab dan
yang mengenai masalah lain ditulis dalam bab yang lain. Ulama-ulama yang
menempuh jalan ini ada yang menerangkan hadits-hadits sahih saja seperti
al-Bukhari dan Muslim, dan ada pula yang tidak demikian seperti Abu Daud,
at-Turmudzy dan an-Nasa’i

(4) Karim, Abdullah, Membahas
Ilmu-ilmu hadis, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005)
(5), M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
POLA PENYUSUNAN KITAB HADITS
1.
Mengisnadkan Hadits
Para sahabat
sesudah Nabi saw. Wafat, saling mempercayai. Para tabi’in dengan tidak
tertugun-tegun menerima hadits yang diriwayatkan kepadanya oleh seorang
shahaby. Keadaan tersebut berjalan sampai timbulnya fitnah yang digerakan oleh
Abdullah Ibnu Saba, seorang yahudi yang bermaksud jahat terhadap Islam. Dia
menggerakan ummat untuk menganut paham tasyayyu’ (paham memihak kepada Ali dan
mempertahan kekhalifaan di tangan Ali dan keturunannya). Mereka ada yang
mengaku keturunan Ali. Sejak itu, timbulnya penyisipan ke dalam hadits,
penyisipan itu kian hari kian bertambah.
Berkenaan
dengan hal itu, mulailah ulama baik dari kalangan sahabat, maupun tabi’in
berhati-hati menerima riwayat yang diberikan kepada mereka. Mereka mulai tidak
lagi menerima hadits kecuali yang mereka ketahui jalan datangnya dan keadaan
perawi-perawinya dan keadilan mereka. Ibnu sirin berkata (menurut riwayat
Muslim dalam muqaddimah shahihnya), “para sahabat dan tabi’in tidak menanyakan
tentang hal isnad. Namun, ketika mulai terjadi fitnah, maka ketika menerima
suatu hadits bertanya, siapa yang memberikan hadits itu? sesudah diketahui
sanad, diperiksalah apa sanad itu terjadi dari Ahlus Sunnah. Kalau benar,
diambillah hadits itu. Kalau perawi itu dari golongan ahli bid’ah, ditolaklah
hadits itu.” Keadaan ini mulai berlaku di zaman sahabat kecil, yang meninggal
sesudah terjadi fitnah.
Diriwayatkan
Muslim dari Mujahid, bahwa Busyair al-adawy datang kepada Ibnu Abbas, lalu
menceritakan hadits kepadanya. Ibnu Abbas tidak memperhatikan hadits-hadits
yang di riwayatkan itu. Maka Busyair bertanya, “apakah sebabnya anda tijdak
mendengarkan hadits-hadits yang saya riwayatkan?” Ibnu Abbas menjawab, “Dahulu,
apabila mendengar hadits, kami memperhatikannya dengan sebaik-baiknya. Ketika
manusia telah mengendarai binatang jinak dan liar, tidaklah kami menerima
selain dari yang kami ketahui.” Berkenaan dengan ini pula, ketika telah
berkecamuknya kedustaan para tabi’in memintakan isnad.
Abu
Aliyah berkata, “kami mendengar hadits-hadits dari seorang sahabat. Kami tidak
senang kalau kami tidak berpayah-payah datang kepada sahabat itu untuk
mendengar hadits.”
2.
Memeriksa Benar tidaknya Hadist yang Diterima
Seseorang yang
menerima hadits, berusaha pergi bertanya kepada sahabat dan tabi’in dan
imam-imam hadits. Dengan inayah Allah SWT, banyak para sahabat yang hidup lama.
Maka ketika timbul kedustaan dalam hal hadits, seseorang yang menerima hadits
pergi kepada para sahabat untuk menanyakan hadist yang diterimanya.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam
Muqaddimah Shahihnya dari Ibnu Abi Mulaikah:
“Saya menulis surat kepada Ibnu
Abbas supaya beliau menulis untuk saya sebuah kitab dan menyembunyikan (yang
tidak ada) pada saya. Ibnu Abbas berkata, “Seorang anak yang jujur, saya akan
memilih untuknya beberapa hal dan menyembunyikannya (hal-hal yang tidak benar).
Ibnu Mulaikah berkata, maka Ibnu Abbas meminta orang membawakan kepadanya kitab
hukum Ali. Lalu beliau menyalin beberapa urusan dan terkadang-kadang apabila
didapatinya yang tidak benar, berkata, “demi Allah, Ali tidak menghukum begini,
terkecuali dia sesat.”
Untuk memenuhi maksud ini para
sahabat dan para tabi’in membuat perlawatan dari kota ke kota, untuk mendengar
hadits-hadits dari orang terpercaya.
Basyir Ibnu Abdillah al-Hadhramy berkata, “saya berkendaraan dari sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk mencari sebuah hadits.”
Basyir Ibnu Abdillah al-Hadhramy berkata, “saya berkendaraan dari sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk mencari sebuah hadits.”
3.
Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang
kebenarannya ataupun Kedustaannya
Inilah
sebuah usaha besar yang dilaksanakan ulama untuk membedakan hadits-hadits yang
shahih dari yang tidak dan yang kuat dari yang lemah. Dalam hal ini ulama
mengalami kesulitan yang besar sekali. Mereka mempelajari sejarah perawi,
perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang tersembunyi bagi umum dari
keaadaan-keadaan para perawi-perawi itu. Mereka dengan tidak segan–segan
menerangkan cacat seorang perawi dan memberitakannya kepada umum.
Pernah
dikatakan orang kepada Yahya Ibn Said al-Qaththan, “Apakah anda tidak takut
pada hari kiamat mereka menjadi seteru anda di hadapan Allah?” Yahya menjawab,
“Saya lebih suka menjadi seteru mereka daripada menjadi seteru Rasul saw. Rasul
akan bertanya,” mengapa kamu tidak membela sunnahku?”
Untuk ini ulama
telah membuat undang-undang atau kaidah umum untuk menetapkan orang-orang boleh
diterima riwayatnya dan yang tidak. Mereka juga menerangkan mana orang-orang
yang tidak boleh sama sekali diterima haditsnya. Walhasil, lahirlah Ilmu
al-Jarh wa at-Ta’dil atau Ilmu Mizan ar-Rijal.
4.
Membuat Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits
Ulama
membagi hadits dalam beberapa derajat. Masing-masing derajat ditetapkan
kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain. Mereka membagi
hadits menjadi shahih dan dha’if. Mereka membuat kaidah- kaidah untuk
mensahihkan suatu hadits dan untuk men-dha’if-kannya. Dengan perkataan lain,
mereka melahirkan ilmu mustalahul hadits, yaitu ilmu yang menetapkan
kaidah-kaidah ilmiah untuk menshahihkan khabar dan kaidah-kaidah ilmiah untuk
mengkritik, mengoreksi khabar dan riwayat.
Ringkasnya,
ulama hadits menyusun qawaid (kaidah-kaidah) tahdits dan ushulnya,
syarat-syarat menerima riwayat dan menolaknya, syarat-syarat shahih, dha’if.
5.
Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu’
Untuk
menyaring hadits, menapis dan memisahkan hadits-hadits yang sahih, hasan dan
dha’if dari maudhu’, yang dipandang seburuk-buruk hadist dha’if, mereka
menetapkan dasar-dasar yang harus kita pegang dalam menentukan hadits-hadits
maudhu’ itu.
Dengan memahami tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadits maudhu’ yang sudah banyak tersebar dalam masyarakat yang awam oleh golongan yang mempunyai suatu maksud kemuslihatan.
Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H) (6)
Dengan memahami tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadits maudhu’ yang sudah banyak tersebar dalam masyarakat yang awam oleh golongan yang mempunyai suatu maksud kemuslihatan.
Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H) (6)

(6)H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,
Jakarta : Bulan Bintang, 1995, hlm. 115
Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu
Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama
sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima
kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat
keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn
Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan
sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul
Rahman al-Damiri (w. 225 H) (7)
kitab-kitab itu kemudian dikenal dikalangan masyarakat
dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas sebagai berikut:
1.
Al-Jami’ash Shahih susunan Al-Bukhari.
2.
Al-Jami’ash Shahih susunan Muslim.
3.
As-Sunan susunan Abu Daud.
4.
As-Sunan susunan At-Turmudzi.
5.
As-Sunan susunan An-Nasa’i.
6. As-Sunan
susunan Ibn Majah.(8)
Ada
Pun Bentuk penyusunan Kitab hadist pada Abad ke III Hijriyah
a. Kitab
Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadist-hadist sahih,sedangkan yang tidak shahih tidak dimasukkan
kedalamnya.Penyusunannya berbentuk Mushannaf, Yaitu penyajian berdasarkan bab
masalah tertentu. Hadist yang dihimpun menyangkut masalah fiqh ,aqidah ,akhlak
,sejarah dan tafsir .Contoh : sahih Muslim dan sahih Bukhari.
b.
Kitab Sunan. Didalam kitab ini dijumpai hadist yang sahih dan juga hadit dhaif
yang tidak terlalu lemah dan mungkar.Terhadap hadist dhaif dijelaskan sebab
kedhaifannya. Bentuk penyusunannya berbentuk Mushannaf dan hadistnya terbatas
hanya pada masalah fiqh . Contoh : Sunan Abu Dawud, Sunan at Turmidzi, Sunan al
Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan al Darimi.

(7) Drs. H. Muhammad Ahmad
dan Mudzakir, Ulumul Hadis, hlm. 36
(8) Drs. Sohari Sahrani,
M.M,M.H, Ulumul Hadits ,. hlm, 69
CONTOH CONTOH KITAB HADITS
Adapun
Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 Hijrah.
1.
Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari (194-256 H).
2.
Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204-261 H).
3.
As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi (209-279 H).
4.
As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at (202-275 H).
5.
As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai (215-303 H).
6.
As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri
(181-255
H).
7.
As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209 - 273 H).
8.
Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H). (9)
9.
Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
10.
Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H). (10)
11.
Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H). (11)
12.
Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H). (12)
13.
Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
14.
Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H). (13)
15.
Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
16.
Al-Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa (wafat 213 H).
17.
Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H). (14)

(10) Ranuwijaya,
Utang, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996).
(11) Saifuddin, Tadwin Hadis, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
(12) Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Pengantar Ilmu Mushthalahul Hadits, (Jakarta: Darul Qolam,2006).
(13) Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis , Pustaka Setia, Bandung.1998.
(14) H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995
(11) Saifuddin, Tadwin Hadis, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
(12) Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Pengantar Ilmu Mushthalahul Hadits, (Jakarta: Darul Qolam,2006).
(13) Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis , Pustaka Setia, Bandung.1998.
(14) H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995
18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat 307
H).
19.
Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi (282 H).
20.
Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani (wafat 287 H).
21.
Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani (wafat 243 H).
22.
Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari (wafat 282 H).
23.
Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai (wafat 303 H).
24.
Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H).
25.
Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin (wafat 228).
Dan
masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah
Mempelajari dan memahami dari sejarah perkembangan hadits pada abad ke tiga
Hijriyah 3H maka kami Penulis (Anugrah Agung & Riska Wahyuni ) Dapat
menyimpulkan :
Berdasarkaan Sejarah pada abad ke 3 H dimana pada
abad ini dimulai penyempurnaan ketika para ahli mengumpulkan hadits yang pada
tahun sbelumnya mereka hanya mengumpulkan saja tanpa ada meneliti terlebih
dahulu apakah hadits teersebut shahih atau tidak, bahkan bermunculaan hadits
hadits palsu, oleh karna itu mereka membuku kan hadits yang di pelopori oleh Al
Bukhari dalam Waktu 16 tahun lamanya
Dan pada masa periode
penyaringan hadits ulama pada abad ke 3 H memiliki beberapa Periode yaitu
1. Periode Meluasnya Lawatan, Penyusunan Kaidah dan Pentashihan Hadits
2. Periode Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih
3. Periode Dasar -dasar Pentashihan Hadits
4. Periode Langkah-Langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits
dari ke empat periode teersebut mereka mampu menggali kembali dan mencatat kembali hadits yang bahkan mereka baru dengar dari para penfhafal hadits dizaman tersebut
1. Periode Meluasnya Lawatan, Penyusunan Kaidah dan Pentashihan Hadits
2. Periode Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih
3. Periode Dasar -dasar Pentashihan Hadits
4. Periode Langkah-Langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits
dari ke empat periode teersebut mereka mampu menggali kembali dan mencatat kembali hadits yang bahkan mereka baru dengar dari para penfhafal hadits dizaman tersebut
Pada Tahap pengumpulan Hadits berdasarkan
nukilan dan kutipan Kitab Hadits Sebelumnya Para ulama memiliki tiga jalan
yaitu :
Jalan Pertama, yaitu pengumpulan segala kritik-kritik yang dihadapkan oleh ahlul kalam kepada ahlul hadits, baik mengenai pribadi-pribadi ahlul hadits , maupun mengenai matan hadits itu sendiri. Mereka menolak tuduhan-tuduhan itu dan membersihkan pribadi-pribadi ulama hadits dari kritik-kritik tajam yang dilemparkan oleh ahlul kalam. Sebagai contoh seperti Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘Ada-il hadits.
Jalan Pertama, yaitu pengumpulan segala kritik-kritik yang dihadapkan oleh ahlul kalam kepada ahlul hadits, baik mengenai pribadi-pribadi ahlul hadits , maupun mengenai matan hadits itu sendiri. Mereka menolak tuduhan-tuduhan itu dan membersihkan pribadi-pribadi ulama hadits dari kritik-kritik tajam yang dilemparkan oleh ahlul kalam. Sebagai contoh seperti Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘Ada-il hadits.
Jalan kedua, jalan mengumpulkan hadits dibawah nama seseorang
sahabat, baik hadits itu shahih, ataupun tidak, walaupun hadits-hadits itu
bermacam-macam dan berlainan-lainan maudlu’nya.
Musnad-musnad yang disusun diantaranya; Musnad Ubaidullah ibn Musa (wafat
213 H), Musnad al-Humaidy (wafat 219), Musnad Ishaq ibn Rahawaih (wafat 239)
dan masih banyak lainnya.
Jalan ketiga,
menurut kitab fiqih dengan diberi bab-babnya. Maka hadits-hadits yang mengenai
suatu masalah, ditulis dalam suatu bab dan yang mengenai masalah lain ditulis
dalam bab yang lain. Ulama-ulama yang menempuh jalan ini ada yang menerangkan
hadits-hadits sahih saja seperti al-Bukhari dan Muslim, dan ada pula yang tidak
demikian seperti Abu Daud, at-Turmudzy dan an-Nasa’i
Pada Pola Penyusunan Kitab
Hadits pada abad ke Tiga Hijriyah 3 H para ulama atau tokoh pada jaman tersebut
memiliki beberapa pola yaitu :
1. Mengisnadkan
Hadits
2. Memeriksa Benar tidaknya Hadist yang Diterima
3. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya
4. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya
5. Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu’
2. Memeriksa Benar tidaknya Hadist yang Diterima
3. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya
4. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya
5. Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu’
SARAN DAN KRITIK
Kami
Sebagai Penulis Menyadari bahwa dalam Makalaah Yang Berjudul “ Sejarah
Perkembangan Hadits Pada Abad Ke Tiga Hijriyah 3H “ ini masih Jauh dari
sempurna oleh karna itu kritik yang baik dan membangun sangat kami butuh kan
agar dalam pembuatan makalah berikutnya kami dapat membuat makalah yang lebih baik
lagi,
DAFTAR PUSTAKA
Hadist Shahih Riwayat Muslim
Syuhudi Isma’il, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits
Karim, Abdullah, Membahas Ilmu-ilmu hadis, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005)
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995, hlm. 115
Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis, hlm. 36
Drs. Sohari Sahrani, M.M,M.H, Ulumul Hadits ,. hlm, 69
Khathib, Al-, Muhammad Ajaj, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996).
Saifuddin, Tadwin Hadis, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Pengantar Ilmu Mushthalahul Hadits, (Jakarta: Darul Qolam,2006).
Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis , Pustaka Setia, Bandung.1998.
H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995
Syuhudi Isma’il, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits
Karim, Abdullah, Membahas Ilmu-ilmu hadis, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005)
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995, hlm. 115
Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis, hlm. 36
Drs. Sohari Sahrani, M.M,M.H, Ulumul Hadits ,. hlm, 69
Khathib, Al-, Muhammad Ajaj, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996).
Saifuddin, Tadwin Hadis, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Pengantar Ilmu Mushthalahul Hadits, (Jakarta: Darul Qolam,2006).
Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis , Pustaka Setia, Bandung.1998.
H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995
Dan Berbagai
Sumber Lainya