Rabu, 24 September 2014

Makalah Ulumul Hadits : Perkembangan Hadits Pada Abad ke tiga



BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG


Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. “Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus”.
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, “Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.
1)      Larangan menulis Hadis
 Terdapat sejumlah hadis Nabi SAW yang melarang para sahabat menuliskan hadist .Di antara hadist tersebut adalah hadist yang berasal dari Said al Khudri :

لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّى شَيْئًا إِلاَّ الْقُرْآنَ فَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Artinya:
"
Nabi muhammad Saw bersabda: Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim) (1)


 

(1).  Hadist Shahih Riwayat Muslim
2)   Dibolehkan Menulis Hadits
Baru di masa Dinasti Bani Umayyah ketika dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz yang banyak disebut sebagai Khalifah yang kelima, ia memberi perintah:
وَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَبِى بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ انْظُرْ مَا كَانَ مِنْ حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَاكْتُبْهُ ، فَإِنِّى خِفْتُ دُرُوسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ ، وَلاَ تَقْبَلْ إِلاَّ حَدِيثَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم - ، وَلْتُفْشُوا الْعِلْمَ ، وَلْتَجْلِسُوا حَتَّى يُعَلَّمَ مَنْ لاَ يَعْلَمُ ، فَإِنَّ الْعِلْمَ لاَ يَهْلِكُ حَتَّى يَكُونَ سِرًّا  (صحيح البخارى معلقا 1 / ص 186)
“Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Hazam (Gubernur di Madinah): Lihatlah apa yang ada dalam hadis Rasulullah, lalu tulislah. Sebab saya takut akan hilangnya ilmu dan wafatnya ulama. Jangan kau terima kecuali hadis Rasulullah Saw, sebarkan ilmu, hendaklah duduk mencari ilmu hingga orang yang belum tahu menjadi tahu. Sebab ilmu tidak akan hilang sehingga menjadi rahasia” (Sahih Bukhari secara Muallaq 1/186)

Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits, misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi,misalnya Abdullah bin ‘Amr bin al-’As (w.65 H/685 M), Abdullah bin ‘Abbas (w.68 H/687 M), ‘Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa’ (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.
Menurut Syuhudi Ismail(2), penulisan hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi’in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma’na), sedang redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.
 

(2).  Syuhudi Isma’l, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits
Dan dalam makalah ini kami akan membahas tentang “ Periode Penyaringan Hadits sampai denggan contoh contoh kitab hadits sampai pola dan cara penyusunanya” pada abad III Hijriyah, yang merupakan saat dimana perkembangan dunia ilmu hadits pada saat itu lebih mangacu kepada pemisahan dan pentashihan Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.

RUMUSAN MASALAH


Setelah kita baca bersama latar belakang penulisan makalah ini, maka kami penulis akan merumuskan makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
a.     Bagaimana Sejarah Singkat Hadist Pada Abad Ke Tiga  Hijriyah ?
b.     Bagaiman cara  Penyaringan Hadist Pada Abad Ke Tiga Hijriyah ?
c.      Bagaimana Cara Pengumpulan Hadits Berdasarkan Nukilan dan Kutipan Kitab Hadits sebelumnya ?
d.      Bagaimanakah Cara Penyusunan Kitab Hadits Pada Abad Ke Tiga Hijriyah ?
e.     Dan Contoh – contoh kitab Hadits Pada abad ke Tiga Hijriyah ?

TUJUAN PENULISAN


            Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas kelompok pada mata kulia Ulumul Hadits, dan juga yang paling pokok adalah sebagai pembuka wawasan terhadap perkembangan Ilmu Hadits khususnya pada abad III Hijriyah. Sebagai Refrensi Untuk ilmu pengetahuan kepada Mahasiswa di IAIN Bengkulu Khusunya dan juga Kepada Masyarakat Umumnya,






BAB II PEMBAHASAN

Sejarah Singkat Hadist Pada Abad Ke Tiga Hijriyah 3H

Abad III H merupakan abad di dalam periode kelima. Di mana, pada periode ini merupakan periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir. Pada awal abad III H, adalah masa dimulainya pembukuan hadits yang semata-mata hadits saja, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat dan fatwa Tabi’in. Akan tetapi mereka tidak memisahkan hadits-hadits yakni mencampurkan hadits sahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dha’if. Segala hadits yang mereka terima, mereka bukukan dengan tidak menerangkan kesahihannya, atau kehasanannya, atau kedha’ifannya. Mereka menyusun kitab-kitab hadits berdasarkan nama-nama orang yang pertama meriwayatkan hadits itu (Musnad) yaitu Abdullah Ibn Musa al-Abasy al-Kufy, Musaddad Ibn Musarhad al-Bashry, As’ad Ibn Musa al-Amawy, Nu’aim Ibn Hammad al-Khuza’y, Ahmad Ibn Hanbal, Ishaq Ibn Rahawaih, Usman Ibn Abi Syaibah.

Periode Penyaringan Hadits


A.    Periode Meluasnya Lawatan(3), Penyusunan Kaidah dan Pentashihan Hadits
Dalam abad ke-3 Hijrah usaha pembukuan hadits memuncak. Sesudah kitab-kitab Ibn Juraij dan Al-Muwaththa’ Malik tersebar dalam masyarakat serta disambut dengan gembira, maka timbullah kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya, dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat, dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Hal ini kian hari kian bertambah maju.
 

(3) Lawatan : Kunjungan ( Berkunjung Bertujuan mencari Hadits)
Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota masing-masing. Sebahagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Pada pertengahan abad ke-3, keadaan ini dipecahkan al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluahkan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan dan Himsah.
Ringkasnya, al-Bukhary membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. 16 tahun lamanya beliau terus-menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab shahih-nya.
Pada mulanya ulama menerima hadits dari perawi, lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadits dalam mengumpulkan hadits pun menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadits yaitu dengan menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudhu’.
Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan mereka, maka ulama hadits bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadits-hadits yang shahih dari yang dha’if yakni menshahihkan hadits.
Pembahasan mengenai diri pribadi perawi menghasilkan ilmu Qawa’id at-Tahdits (kaidah-kaidah tahdits), ‘Illat-‘illat hadits dan Tarjamah (riwayat) perawi-perawi hadits.
Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu Dirayah (Ilmu Dirayah al-Hadits) yang banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah al-Hadits).
Upaya pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if dengan mempergunakan syarat-syarat pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’, melahirkan kitab-kitab shahih dan sunan


B.    Periode  Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih
Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.
Pekerjaan yang mulia ini, kemudian disempurnakan ole imam al-Bukhary. Al-Bukhry menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami’ ash-shahih yang membukukan hadits-hadits yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha al-Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim. Maka dengan jerih payah kedua sarjana besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang bersih.
Sesudah shahih al-Bukhary dan shahih Muslim tersusun, muncul pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (sunan At-Tirmidzy) dan AnNasa’y (sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (al-Ushul al-Khamsah).
Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab sunan yakni Sunan Ibnu Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal dengan nama al-Kutub as-Sittah. Di bawah kitab yang enam ini ulama menempatkan Musnad al-Imam Ahmad.
C.    Periode Dasar -dasar Pentashihan Hadits
Untuk mentashihkan hadits, dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang Tarikh Rijal al-hadits - sejarah perawi hadits -, tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan orang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Dengan pengetahuan yang mendalam tentang parawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman al-Bukhary (umpamanya), dapat diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta, siapa yang lalai.
Al-Bukhary mempunyai dua keistemewaan, yaitu pertama, hafalan yang sungguh kuat yang jarang kita temukan bandingannya, khususnya dalam bidang hadits. Kedua, keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang dapat kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disususn untuk menerangkan keadaan perawi-perawi hadits. al-Bukhary dalam menghadapi perawi-perawi yang lemah dan tercela, mempergunakan kata-kata yang sopan sekali.
Perawi-perawi yang menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits, seperti az-Zuhry, tentu tidak sama semuanya. Ada yang erat dengan az-Zuhry, ada yang tidak. al-Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang erat hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi yang tidak erat hubungannya, sama dengan menerima perawi-perawi yang erat hubungannya. Mengenai orang-orang yang bukan tokoh, maka baik Al-Bukhary maupun muslim menerimah riwayatnya asal saja perawi itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru.
Al-allamah muhammad zahijd al-kutsary mengatakan bahwa diantara yang menarik perhatian adalah al-Bukhary dan Muslim tidak menceritakan sedikitpun dari hadits Imam Abu Hanifah, padahal al-Bukhary dan muslim itu mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah dan menerimah hadits dari mereka. Juga al-Bukhary dan muslim tidak mentakhrijkan hadits imam Asy-Syafi’y padahal beliau-beliau itu menjumpai sebagian ashabnya. Juga al-Bukhary tidak mentakhrijkan hadits-hadits ahmad selain dari dua hadits, satu secara ta’liq, satu lagi secara nasil dengan perantaraan, padahal al-Bukhary mendapati ahmad dan bergaul dengannya. Muslim tidak mentakhrijkan dalam shahinya barang satu hadits dari hadits al-Bukhary, padahal muslim bergaul dengannya dan menuruti jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits ahmad selain dari 30 hadits, ahmad tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari malik dari nafi melalui jalan Asy-Syafi’y padahal sanad inni dipandang paling sah, selain dari empat hadits.

D.    Periode  Langkah-Langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits
Ulama di samping membukukan hadits dan memisakan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if, mereka memberikan pula kesungguhan yang mengagumkan untuk menyusun kaedah-kaedah tahdits, ushul-ushulnya, syarat-syarat menerimah riwayat, syarat-syarat menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah-kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadits-hadits maudhu (palsu).
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah Rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara yang shahih dengan yang dha’if, khususnya antara hadits-hadits yang ada asalnya dengan hadits yang semata-mata maudhu.


Pengumpulan Hadits Berdasarkan Nukilan dan Kutipan Kitab Hadits Sebelumnya


      Abad ke-3 H merupakan puncak pembukuan Hadits, yang mulai tersebar dimasyarakat kitab-kitab hadits, seperti kitab Muwaththa’- Al Malik yang telah disambut dengan gembira bagi masyarakat. Kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ketempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits.
Keadaan ini mulanya diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, Asqalani dan Himsh.
Imam Bukhari membuat trobosan dengan mengumpulkan hadits yang tersebar diberbagai daerah. Enam tahun lamanya Al Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab sahih-nya(4).   
Dari sinilah diketahui Jika Al Bukhari Mulai bertemu dengan orang yang menghafal hadits nabi baik yang mereka dengar langsung dari nabi maupun yang mereka dengar dari para sahabat nabi,  Adapun Menurut M. Hasbi Ash Sidieqqy(5)  Mengatakan ada 3 jalan pengumpulan hadits yang dilakukan oleh Al Bukhari yaitu :
1.      Jalan Pertama, yaitu pengumpulan segala kritik-kritik yang dihadapkan oleh ahlul kalam kepada ahlul hadits, baik mengenai pribadi-pribadi ahlul hadits , maupun mengenai matan hadits itu sendiri. Mereka menolak tuduhan-tuduhan itu dan membersihkan pribadi-pribadi ulama hadits dari kritik-kritik tajam yang dilemparkan oleh ahlul kalam. Sebagai contoh seperti Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘Ada-il hadits.
2.      Jalan kedua, jalan mengumpulkan hadits dibawah nama seseorang sahabat, baik hadits itu shahih, ataupun tidak, walaupun hadits-hadits itu bermacam-macam dan berlainan-lainan maudlu’nya.
Musnad-musnad yang disusun diantaranya; Musnad Ubaidullah ibn Musa (wafat 213 H), Musnad al-Humaidy (wafat 219), Musnad Ishaq ibn Rahawaih (wafat 239) dan masih banyak lainnya.
3.      Jalan ketiga, menurut kitab fiqih dengan diberi bab-babnya. Maka hadits-hadits yang mengenai suatu masalah, ditulis dalam suatu bab dan yang mengenai masalah lain ditulis dalam bab yang lain. Ulama-ulama yang menempuh jalan ini ada yang menerangkan hadits-hadits sahih saja seperti al-Bukhari dan Muslim, dan ada pula yang tidak demikian seperti Abu Daud, at-Turmudzy dan an-Nasa’i
 

(4) Karim, Abdullah, Membahas Ilmu-ilmu hadis, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005)
 (5), M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)

POLA PENYUSUNAN KITAB HADITS


        1. Mengisnadkan Hadits
Para sahabat sesudah Nabi saw. Wafat, saling mempercayai. Para tabi’in dengan tidak tertugun-tegun menerima hadits yang diriwayatkan kepadanya oleh seorang shahaby. Keadaan tersebut berjalan sampai timbulnya fitnah yang digerakan oleh Abdullah Ibnu Saba, seorang yahudi yang bermaksud jahat terhadap Islam. Dia menggerakan ummat untuk menganut paham tasyayyu’ (paham memihak kepada Ali dan mempertahan kekhalifaan di tangan Ali dan keturunannya). Mereka ada yang mengaku keturunan Ali. Sejak itu, timbulnya penyisipan ke dalam hadits, penyisipan itu kian hari kian bertambah.
Berkenaan dengan hal itu, mulailah ulama baik dari kalangan sahabat, maupun tabi’in berhati-hati menerima riwayat yang diberikan kepada mereka. Mereka mulai tidak lagi menerima hadits kecuali yang mereka ketahui jalan datangnya dan keadaan perawi-perawinya dan keadilan mereka. Ibnu sirin berkata (menurut riwayat Muslim dalam muqaddimah shahihnya), “para sahabat dan tabi’in tidak menanyakan tentang hal isnad. Namun, ketika mulai terjadi fitnah, maka ketika menerima suatu hadits bertanya, siapa yang memberikan hadits itu? sesudah diketahui sanad, diperiksalah apa sanad itu terjadi dari Ahlus Sunnah. Kalau benar, diambillah hadits itu. Kalau perawi itu dari golongan ahli bid’ah, ditolaklah hadits itu.” Keadaan ini mulai berlaku di zaman sahabat kecil, yang meninggal sesudah terjadi fitnah.
Diriwayatkan Muslim dari Mujahid, bahwa Busyair al-adawy datang kepada Ibnu Abbas, lalu menceritakan hadits kepadanya. Ibnu Abbas tidak memperhatikan hadits-hadits yang di riwayatkan itu. Maka Busyair bertanya, “apakah sebabnya anda tijdak mendengarkan hadits-hadits yang saya riwayatkan?” Ibnu Abbas menjawab, “Dahulu, apabila mendengar hadits, kami memperhatikannya dengan sebaik-baiknya. Ketika manusia telah mengendarai binatang jinak dan liar, tidaklah kami menerima selain dari yang kami ketahui.” Berkenaan dengan ini pula, ketika telah berkecamuknya kedustaan para tabi’in memintakan isnad.
Abu Aliyah berkata, “kami mendengar hadits-hadits dari seorang sahabat. Kami tidak senang kalau kami tidak berpayah-payah datang kepada sahabat itu untuk mendengar hadits.”



2. Memeriksa Benar tidaknya Hadist yang Diterima
Seseorang yang menerima hadits, berusaha pergi bertanya kepada sahabat dan tabi’in dan imam-imam hadits. Dengan inayah Allah SWT, banyak para sahabat yang hidup lama. Maka ketika timbul kedustaan dalam hal hadits, seseorang yang menerima hadits pergi kepada para sahabat untuk menanyakan hadist yang diterimanya.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya dari Ibnu Abi Mulaikah:
“Saya menulis surat kepada Ibnu Abbas supaya beliau menulis untuk saya sebuah kitab dan menyembunyikan (yang tidak ada) pada saya. Ibnu Abbas berkata, “Seorang anak yang jujur, saya akan memilih untuknya beberapa hal dan menyembunyikannya (hal-hal yang tidak benar). Ibnu Mulaikah berkata, maka Ibnu Abbas meminta orang membawakan kepadanya kitab hukum Ali. Lalu beliau menyalin beberapa urusan dan terkadang-kadang apabila didapatinya yang tidak benar, berkata, “demi Allah, Ali tidak menghukum begini, terkecuali dia sesat.”
Untuk memenuhi maksud ini para sahabat dan para tabi’in membuat perlawatan dari kota ke kota, untuk mendengar hadits-hadits dari orang terpercaya.
Basyir Ibnu Abdillah al-Hadhramy berkata, “saya berkendaraan dari sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk mencari sebuah hadits.”
3. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya
Inilah sebuah usaha besar yang dilaksanakan ulama untuk membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang tidak dan yang kuat dari yang lemah. Dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang besar sekali. Mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang tersembunyi bagi umum dari keaadaan-keadaan para perawi-perawi itu. Mereka dengan tidak segan–segan menerangkan cacat seorang perawi dan memberitakannya kepada umum.
Pernah dikatakan orang kepada Yahya Ibn Said al-Qaththan, “Apakah anda tidak takut pada hari kiamat mereka menjadi seteru anda di hadapan Allah?” Yahya menjawab, “Saya lebih suka menjadi seteru mereka daripada menjadi seteru Rasul saw. Rasul akan bertanya,” mengapa kamu tidak membela sunnahku?”
Untuk ini ulama telah membuat undang-undang atau kaidah umum untuk menetapkan orang-orang boleh diterima riwayatnya dan yang tidak. Mereka juga menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama sekali diterima haditsnya. Walhasil, lahirlah Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil atau Ilmu Mizan ar-Rijal.
4. Membuat Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits
Ulama membagi hadits dalam beberapa derajat. Masing-masing derajat ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain. Mereka membagi hadits menjadi shahih dan dha’if. Mereka membuat kaidah- kaidah untuk mensahihkan suatu hadits dan untuk men-dha’if-kannya. Dengan perkataan lain, mereka melahirkan ilmu mustalahul hadits, yaitu ilmu yang menetapkan kaidah-kaidah ilmiah untuk menshahihkan khabar dan kaidah-kaidah ilmiah untuk mengkritik, mengoreksi khabar dan riwayat.
Ringkasnya, ulama hadits menyusun qawaid (kaidah-kaidah) tahdits dan ushulnya, syarat-syarat menerima riwayat dan menolaknya, syarat-syarat shahih, dha’if.
5. Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu’
Untuk menyaring hadits, menapis dan memisahkan hadits-hadits yang sahih, hasan dan dha’if dari maudhu’, yang dipandang seburuk-buruk hadist dha’if, mereka menetapkan dasar-dasar yang harus kita pegang dalam menentukan hadits-hadits maudhu’ itu.
Dengan memahami tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadits maudhu’ yang sudah banyak tersebar dalam masyarakat yang awam oleh golongan yang mempunyai suatu maksud kemuslihatan.
Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H) (6)
 

(6)H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995, hlm. 115



Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H) (7)
kitab-kitab itu kemudian dikenal dikalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
            Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas sebagai berikut:
1.      Al-Jami’ash Shahih susunan Al-Bukhari.
2.      Al-Jami’ash Shahih susunan Muslim.
3.      As-Sunan susunan Abu Daud.
4.      As-Sunan susunan At-Turmudzi.
5.      As-Sunan susunan An-Nasa’i.
6.     As-Sunan susunan Ibn Majah.(8)

Ada Pun Bentuk penyusunan Kitab hadist pada Abad ke III Hijriyah
a.    Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadist-hadist sahih,sedangkan yang tidak    shahih tidak dimasukkan kedalamnya.Penyusunannya berbentuk Mushannaf, Yaitu penyajian berdasarkan bab masalah tertentu. Hadist yang dihimpun menyangkut masalah fiqh ,aqidah ,akhlak ,sejarah dan tafsir .Contoh : sahih Muslim dan sahih Bukhari.
b.    Kitab Sunan. Didalam kitab ini dijumpai hadist yang sahih dan juga hadit dhaif yang tidak terlalu lemah dan mungkar.Terhadap hadist dhaif dijelaskan sebab kedhaifannya. Bentuk penyusunannya berbentuk Mushannaf dan hadistnya terbatas hanya pada masalah fiqh . Contoh : Sunan Abu Dawud, Sunan at Turmidzi, Sunan al Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan al Darimi.
c.     Kitab Musnad. Didalam kitab ini hadist disususn berdasrkan nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang berdasrkan nabi kabilah seperti bani hasyim dsb. Ada juga yang berdasarkan nama sahabat berdasrkan urutan waktu memeluk Islam,dan ada yang berdasarkan hijaiyah dll. Contoh : Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abu qasim Albaghawi, dan musnab ustman ibn abi syaibah.
(7) Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis, hlm. 36
(8) Drs. Sohari Sahrani, M.M,M.H, Ulumul Hadits ,. hlm, 69

CONTOH CONTOH KITAB HADITS

Adapun Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 Hijrah.
1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari (194-256 H).
2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204-261 H).
3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi (209-279 H).
4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at (202-275 H).
5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai (215-303 H).
6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri
(181-255 H).
7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209 - 273 H).
8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H). (9)
9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H). (10)
11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H). (11)
12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H). (12)
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H). (13)
15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
16. Al-Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa (wafat 213 H).
17. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H). (14)
           


   (9) Khathib, Al-, Muhammad Ajaj, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
             (10) Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996).
(11)
Saifuddin, Tadwin Hadis, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008) 
(12)
Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Pengantar Ilmu Mushthalahul Hadits, (Jakarta: Darul Qolam,2006).
(13)
Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis , Pustaka Setia, Bandung.1998.
(14)
H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995

   18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat 307 H).
19. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi (282 H).
20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani (wafat 287 H).
21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani (wafat 243 H).
22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari (wafat 282 H).
23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai (wafat 303 H).
24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H).
25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin (wafat 228).
Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini.



















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

              
               Setelah Mempelajari dan memahami dari sejarah perkembangan hadits pada abad ke tiga Hijriyah 3H maka kami Penulis (Anugrah Agung & Riska Wahyuni ) Dapat menyimpulkan :
Berdasarkaan Sejarah pada abad ke 3 H dimana pada abad ini dimulai penyempurnaan ketika para ahli mengumpulkan hadits yang pada tahun sbelumnya mereka hanya mengumpulkan saja tanpa ada meneliti terlebih dahulu apakah hadits teersebut shahih atau tidak, bahkan bermunculaan hadits hadits palsu, oleh karna itu mereka membuku kan hadits yang di pelopori oleh Al Bukhari dalam Waktu 16 tahun lamanya
Dan pada masa periode penyaringan hadits ulama pada abad ke 3 H memiliki beberapa Periode yaitu
1. Periode Meluasnya Lawatan, Penyusunan Kaidah dan Pentashihan Hadits
2. Periode  Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih
3. Periode Dasar -dasar Pentashihan Hadits
4. Periode  Langkah-Langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits
dari ke empat periode teersebut mereka mampu menggali kembali dan mencatat  kembali hadits yang bahkan mereka baru dengar dari para penfhafal hadits dizaman tersebut
      Pada Tahap pengumpulan Hadits berdasarkan nukilan dan kutipan Kitab Hadits Sebelumnya Para ulama memiliki tiga jalan yaitu :
Jalan Pertama, yaitu pengumpulan segala kritik-kritik yang dihadapkan oleh ahlul kalam kepada ahlul hadits, baik mengenai pribadi-pribadi ahlul hadits , maupun mengenai matan hadits itu sendiri. Mereka menolak tuduhan-tuduhan itu dan membersihkan pribadi-pribadi ulama hadits dari kritik-kritik tajam yang dilemparkan oleh ahlul kalam. Sebagai contoh seperti Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘Ada-il hadits.
       Jalan kedua, jalan mengumpulkan hadits dibawah nama seseorang sahabat, baik hadits itu shahih, ataupun tidak, walaupun hadits-hadits itu bermacam-macam dan berlainan-lainan maudlu’nya.
Musnad-musnad yang disusun diantaranya; Musnad Ubaidullah ibn Musa (wafat 213 H), Musnad al-Humaidy (wafat 219), Musnad Ishaq ibn Rahawaih (wafat 239) dan masih banyak lainnya.
      Jalan ketiga, menurut kitab fiqih dengan diberi bab-babnya. Maka hadits-hadits yang mengenai suatu masalah, ditulis dalam suatu bab dan yang mengenai masalah lain ditulis dalam bab yang lain. Ulama-ulama yang menempuh jalan ini ada yang menerangkan hadits-hadits sahih saja seperti al-Bukhari dan Muslim, dan ada pula yang tidak demikian seperti Abu Daud, at-Turmudzy dan an-Nasa’i

Pada Pola Penyusunan Kitab Hadits pada abad ke Tiga Hijriyah 3 H para ulama atau tokoh pada jaman tersebut memiliki beberapa pola yaitu :
1. Mengisnadkan Hadits
2. Memeriksa Benar tidaknya Hadist yang Diterima
3. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya
4. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya
5. Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu’

SARAN DAN KRITIK


Kami Sebagai Penulis Menyadari bahwa dalam Makalaah Yang Berjudul “ Sejarah Perkembangan Hadits Pada Abad Ke Tiga Hijriyah 3H “ ini masih Jauh dari sempurna oleh karna itu kritik yang baik dan membangun sangat kami butuh kan agar dalam pembuatan makalah berikutnya kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi,








DAFTAR PUSTAKA

 Hadist Shahih Riwayat Muslim
Syuhudi Isma’il, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits
Karim, Abdullah, Membahas Ilmu-ilmu hadis, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005)

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995, hlm. 115
Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis, hlm. 36
Drs. Sohari Sahrani, M.M,M.H, Ulumul Hadits ,. hlm, 69
 
Khathib, Al-, Muhammad Ajaj, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996).
Saifuddin, Tadwin Hadis, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008) 
Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Pengantar Ilmu Mushthalahul Hadits, (Jakarta: Darul Qolam,2006).
 
Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis , Pustaka Setia, Bandung.1998.
 H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995
Dan Berbagai Sumber Lainya